Mukenah Wanita Senja
Cerpen:
Faramor S Sanji
Lima
tahun sudah aku mencari kabar
tentang keberadaanya. Mencoba bersabar sekuat tenaga. Sebab aku begitu yakin
kalau kesabaran akan berbuah nikmat. Seperti Rasulallah yang senantiasa
bersabar meski di terpa gunjiangan kaum Quraisy. Ia tetap sabar. Hingga ia
dimuliakan dan berada di sisi-Nya.
Semenjak
aku tahu cerita yang sebenarnya dari ibu asuhku. Kata Bu Aminah, aku di temukan
saat menjelang Adzan Subuh. Ia terkejut saat suara tangisku menembus kesenyapan
heningnya dini hari yang dingin dan lembab. Spontan Bu Aminah terbangun dan
keluar dari tempat peristirahatannya. Ia melihatku terbedong selimut merah
jambu.
Saat Bu Aminah memelukku dengan
hangat. Ia menemukan kalung yang bertuliskan “Mindi Anggraini.” Itulah satu-satunya benda yang menunjukkan
identitasku. Hatiku terpukul, ketika Bu Aminah menceritakan siapa aku yang
sebenarnya. Kecewa bercampur sedih menikan uluh hatiku. Cerita itu sama sekali
tidak pernah aku duga sebelumnya.
Hal
itu mengingatkan aku pada suatu kejadian.
Waktu itu, sehabis pulang sekolah aku menunggu Bu Aminah di depan SDN 1
Sudirejo. Tempat anak-anak kurang mampu seperti aku menimbah ilmu. Tapi ada
yang aneh di siang bolong itu. Ketika angin berhembus sepoi menyentuh kulitku,
dan daun-daun mangga jatuh bercumbuh dengan tanah. Terik mentari pada saat itu
mencapai 30 derajat celcius, dengan suhu yang sepanas itu mampu membuat kulitku
menjadi hitam. Apabila aku terus terjemur di bawah sinarnya.
Di
saat aku berteduh di bawah canopy
halte depan sekolah. Tiba-tiba ada seorang ibu yang tampak cantik, kira-kira berusia 34 tahun. Namun sayang,
kecantikannya tertutupi debu-debu yang membuat wajahnya tampak keruh. Tapi,
mata itu -mata yang berwarna coklat, berbulu
mata lentik- ya.., matanya serupa dengan mataku. Aku tak kenal siapa wanita
itu. Tapi tatapan matanya seolah menunjukkan sebuah ikatan yang begitu dalam.
Wanita
itu semakin dekat menatapku. Semakin dekat.kira-kira hanya berjarak kurang dari
1 meter saja. Tubuhku gemetar. Aku berlari saat wanita itu berkata “Mindi
anakku.., Mindi anaku…” Untungnya Bu
Aminah cepat menghentikan lariku. Kalau tidak, mungkin kini aku sudah berada di
tempat yang abadi. Karena waktu itu aku hampir menyosor mobil sedan berwarna
abu-abu di jalan raya itu.
“Kamu
kenapa nak?”
“It…it…tu
Bu. Ada orang aneh.” Telunjukku mengarah ke halte.
“Orang
aneh bagaimana?” Tanya buk aminah yang berusaha menenangkanku.
“Tadi
ada ibu-ibu bilang, mindi anakku.., mindi anakku.., gitu Bu.” Jawabku sambil
memeluk pinggang ibu.
“Ayo
kita lihat kesana?" jawab Bu Aminah.
“Takut
bu…” terus memeluk pinggang ibu.
Ketika
kami sampai di halte orang itu hilang. Keberadaannya bagai angin, tiba-tiba
datang kemudia tanpa di sadari menghilang. Setelah kejadian itu aku sering
melihat wanita itu mengintaiku dari sebrang jalan di depan sekolahku. Tatapan
matanya masih setajam waktu itu tapi aku tak takut karna ada buk aminah di
sampingku. Semenjak kejadian itu Bu Aminah lebih awal menjemputku.
***
“Sepertinya
hari ini nihil akan keberadaannya.” Gumamku dalam hati. Dimana lagi aku harus
mencari. Sudah aku susuri lorong-lorong kecil di kota ini; yang aku temukan
hanyalah lumut-lumut penuh dengan tanda apia menatapku. Sampah-sampah yang
berserakan hanya diam dan membisu.
Rasa
lelah mulai menderahku. Tapi terpatahkan dengan tekat baja untuk menemukan ibu.
Ada satu hal yang ingin aku tanyakan ketika jumpa nanti. Mengapa dia menelantarkanku di teras di rumah
Bu Aminah? Tapi aku harus mencarinya di mana lagi.
Matahari semakin
membungkuk ke arah barat.
Sinarnya tak lagi sepedas siang hari. Warna semburat jingga tampak mewarnai
lagit senja itu. Jeritan mesin-mesin pabrik mulai meredam. Aku hentikan laju
mobil di pinggir pantai yang asri. Bersandar menatap awan yang berarak dengan
camar-camar yang mencari makan. Aku terlamun akan wajah ibu. Mencoba menjawab
misteri kehidupan yang menderaku.
Pikiranku
terus bermain pada mata yang sering mengintaiku dulu. “Apa wanita itu ibuku?”
tanyaku pada pasir dan banyu biru. Entahlah, tapi mata itu seperti menyimpan
kerinduan mendalam. Hanya kebenaran kalung inilah yang akan menjawabnya. Andai
dia bias bicara, tentu sudah aku temukan sosok ibu.
Merdu
kumandang Adzan Magrib menyadarkan dari lamunan imajiku. Senja yang indah
dengan warna khas jingganya perlahan tenggelam, kembali pada peraduannya. Sejenak aku diam mendengarkan seruan
merdu nan sendu itu. Lalu, kulangkahkan kaki ini menuju mushola yang tak jauh
dari pantai.
Segera
ku ambil wudhu untuk mensucikan tubuh dari peluh dan debu. Percikan air keran
jatuh dan mengenai lantai-lantai keramik yang mengarat. Wajahku begitu segar
waktu segemgam air membasuhnya. Perlahan pun pikiranku mulai tenang.
Dengan
penuh ketenangan aku melangkah menuju sab perempuan. Sebelum masuk, aku
mengucapkan salam. Tapi tak ada mukenah yang tersampir di sudut sab perempuan.
Aku putuskan untuk menunggu di sab paling belakang. Sambil menunggu, aku
bermunajat pada Allah agar bias bertemu ibu. Ingin sekali aku membahagiakannya,
walaupun ia telah menelantarkanku.
“Kamu
enggak sholat nak?” suara itu menggugah dari munajatku pada-Nya. Seorang wanita
senja berdiri di hadapanku. Ia menyodorkan mukenahnya padaku. Ia menetapku
seakan mengisaratkan padaku untuk bergegas sholat.
Pada salam
terakhir sholatku. Terdengar suara yang menggetarkan gendang telingaku suaranya
mengerucut sampai ke ubun-ubun.
“Braaakkk…”
“Tolong..,tolong..,tolong..,”
ucap seorang warga yang baru selesai sholat.
Spontan
aku bangkit setelah menyelesaikan rakaat terakhirku. Tanpa munajat. Tanpa
zikir. Aku melesat menuju asal suara itu. Dari kejauhan aku melihat seorang
wanita terbaring bersimba darah mengharap pertolongan. Setelah ku lihat semakin
dekat, ternayata wanita itu adalah wanita senja yang memberikan mukenah tadi.
Aku menyuruh
seorang warga untuk mengangkatnya menuju mobil sedan milikku yang terparkir di
halaman sekolah. Di temani oleh 2 orang warga,. Kami melaju dengan kecepatan tinggi. Hampir menembus angka 110
km/jam.
Hanya
dalam hitungan puluhan menit, kami sudah tiba di rumah sakit umum terdekat.
Wanita senja itu langsung di rujuk ke ruang UGD, sementara aku harus mengurus
administrasinya. Malam itu begitu lembab. Angin berhembus menyapaku dengan
tenang. Aku putuskan untuk menelpon Bu Aminah.
Rasa cemas
menggelora dalam relung batinku. Bau obat-obatan menyengkat dari penjuru ruang,
menusuk-nusuk hidungku. Aku bersandar pada pranca lantai satu. Mentap langit
tiada berbintang, hanya kelam yang menyelimuti langit itu. Entah mengapa
pikiranku hanya tertuju pada wanita senja itu. Seperti ada yang ganjil padanya.
Tapi, aku tak tahu siapa wanita senja itu?
Bu
Aminah tiba dengan langkah kaki yang tergesah-gesah.
Tampak kecemasan terlukis jelas di raut wajahnya. Mungkin ia takut terjadi sesuatu terhadapku. Maklum,
walaupun aku bukan anak kandungnya. Tapi, ia begitu menyayangiku seperti
anaknya sendiri. Sebab, ia divonis oleh dokter tidak bias mempunyai keturuan.
Dan gara-gara hal itulah, ia dicerai oleh mantan suaminya.
Namun,
kedatangan Bu Aminah tak aku hiraukan. Aku terus asik bermain dengan imajiku.
Aku tersentak, ketika memperhatikan wajah wanita senja itu secara detail. Mata itu! Tak salah lagi.., mata itu milik
seorang ibu yang mengintaiku dulu. Apakah benar ia ibu kandungku?
Entalah.., hanya Engkau yang tahu. Aku serakan misteri ini Engkau
yang menjawabnya.
***
Penulis adalah mahasiswa Bahasa dan Sastra
Indonesia FKIP UISU Medan. Karya penulis urak-urakan ini pernah termuat di
beberapa surat kabar lokal dan nasional. Penulis juga bergiat di Teater
Karisma.