Minggu, 28 Juli 2013

Cerpen Mukenah Wanita Senja


Mukenah Wanita Senja
Cerpen: Faramor S Sanji

Lima tahun sudah aku mencari kabar tentang keberadaanya. Mencoba bersabar sekuat tenaga. Sebab aku begitu yakin kalau kesabaran akan berbuah nikmat. Seperti Rasulallah yang senantiasa bersabar meski di terpa gunjiangan kaum Quraisy. Ia tetap sabar. Hingga ia dimuliakan dan berada di sisi-Nya.
Semenjak aku tahu cerita yang sebenarnya dari ibu asuhku. Kata Bu Aminah, aku di temukan saat menjelang Adzan Subuh. Ia terkejut saat suara tangisku menembus kesenyapan heningnya dini hari yang dingin dan lembab. Spontan Bu Aminah terbangun dan keluar dari tempat peristirahatannya. Ia melihatku terbedong selimut merah jambu.
            Saat Bu Aminah memelukku dengan hangat. Ia menemukan kalung yang bertuliskanMindi Anggraini.” Itulah satu-satunya benda yang menunjukkan identitasku. Hatiku terpukul, ketika Bu Aminah menceritakan siapa aku yang sebenarnya. Kecewa bercampur sedih menikan uluh hatiku. Cerita itu sama sekali tidak pernah aku duga sebelumnya.
Hal itu mengingatkan aku pada suatu kejadian.  Waktu itu, sehabis pulang sekolah aku menunggu Bu Aminah di depan SDN 1 Sudirejo. Tempat anak-anak kurang mampu seperti aku menimbah ilmu. Tapi ada yang aneh di siang bolong itu. Ketika angin berhembus sepoi menyentuh kulitku, dan daun-daun mangga jatuh bercumbuh dengan tanah. Terik mentari pada saat itu mencapai 30 derajat celcius, dengan suhu yang sepanas itu mampu membuat kulitku menjadi hitam. Apabila aku terus terjemur di bawah sinarnya.
Di saat aku berteduh di bawah canopy halte depan sekolah. Tiba-tiba ada seorang ibu yang tampak cantik, kira-kira berusia 34 tahun. Namun sayang, kecantikannya tertutupi debu-debu yang membuat wajahnya tampak keruh. Tapi, mata itu -mata yang berwarna coklat, berbulu mata lentik- ya.., matanya serupa dengan mataku. Aku tak kenal siapa wanita itu. Tapi tatapan matanya seolah menunjukkan sebuah ikatan yang begitu dalam.
Wanita itu semakin dekat menatapku. Semakin dekat.kira-kira hanya berjarak kurang dari 1 meter saja. Tubuhku gemetar. Aku berlari saat wanita itu berkata “Mindi anakku.., Mindi anaku…” Untungnya Bu Aminah cepat menghentikan lariku. Kalau tidak, mungkin kini aku sudah berada di tempat yang abadi. Karena waktu itu aku hampir menyosor mobil sedan berwarna abu-abu di jalan raya itu.
“Kamu kenapa nak?”
“It…it…tu Bu. Ada orang aneh.” Telunjukku mengarah ke halte.
“Orang aneh bagaimana?” Tanya buk aminah yang berusaha menenangkanku.
“Tadi ada ibu-ibu bilang, mindi anakku.., mindi anakku.., gitu Bu.” Jawabku sambil memeluk pinggang ibu.
“Ayo kita lihat kesana?" jawab Bu Aminah.
“Takut bu…” terus memeluk pinggang ibu.
Ketika kami sampai di halte orang itu hilang. Keberadaannya bagai angin, tiba-tiba datang kemudia tanpa di sadari menghilang. Setelah kejadian itu aku sering melihat wanita itu mengintaiku dari sebrang jalan di depan sekolahku. Tatapan matanya masih setajam waktu itu tapi aku tak takut karna ada buk aminah di sampingku. Semenjak kejadian itu Bu Aminah lebih awal menjemputku.
***
“Sepertinya hari ini nihil akan keberadaannya.” Gumamku dalam hati. Dimana lagi aku harus mencari. Sudah aku susuri lorong-lorong kecil di kota ini; yang aku temukan hanyalah lumut-lumut penuh dengan tanda apia menatapku. Sampah-sampah yang berserakan hanya diam dan membisu.
Rasa lelah mulai menderahku. Tapi terpatahkan dengan tekat baja untuk menemukan ibu. Ada satu hal yang ingin aku tanyakan ketika jumpa nanti.  Mengapa dia menelantarkanku di teras di rumah Bu Aminah? Tapi aku harus mencarinya di mana lagi.
Matahari semakin membungkuk ke arah barat. Sinarnya tak lagi sepedas siang hari. Warna semburat jingga tampak mewarnai lagit senja itu. Jeritan mesin-mesin pabrik mulai meredam. Aku hentikan laju mobil di pinggir pantai yang asri. Bersandar menatap awan yang berarak dengan camar-camar yang mencari makan. Aku terlamun akan wajah ibu. Mencoba menjawab misteri kehidupan yang menderaku.
Pikiranku terus bermain pada mata yang sering mengintaiku dulu. “Apa wanita itu ibuku?” tanyaku pada pasir dan banyu biru. Entahlah, tapi mata itu seperti menyimpan kerinduan mendalam. Hanya kebenaran kalung inilah yang akan menjawabnya. Andai dia bias bicara, tentu sudah aku temukan sosok ibu.
Merdu kumandang Adzan Magrib menyadarkan dari lamunan imajiku. Senja yang indah dengan warna khas jingganya perlahan tenggelam, kembali pada peraduannya. Sejenak aku diam mendengarkan seruan merdu nan sendu itu. Lalu, kulangkahkan kaki ini menuju mushola yang tak jauh dari pantai.
Segera ku ambil wudhu untuk mensucikan tubuh dari peluh dan debu. Percikan air keran jatuh dan mengenai lantai-lantai keramik yang mengarat. Wajahku begitu segar waktu segemgam air membasuhnya. Perlahan pun pikiranku mulai tenang.
Dengan penuh ketenangan aku melangkah menuju sab perempuan. Sebelum masuk, aku mengucapkan salam. Tapi tak ada mukenah yang tersampir di sudut sab perempuan. Aku putuskan untuk menunggu di sab paling belakang. Sambil menunggu, aku bermunajat pada Allah agar bias bertemu ibu. Ingin sekali aku membahagiakannya, walaupun ia telah menelantarkanku.
“Kamu enggak sholat nak?” suara itu menggugah dari munajatku pada-Nya. Seorang wanita senja berdiri di hadapanku. Ia menyodorkan mukenahnya padaku. Ia menetapku seakan mengisaratkan padaku untuk bergegas sholat.
Pada salam terakhir sholatku. Terdengar suara yang menggetarkan gendang telingaku suaranya mengerucut sampai ke ubun-ubun.
“Braaakkk…”
“Tolong..,tolong..,tolong..,” ucap seorang warga yang baru selesai sholat.
Spontan aku bangkit setelah menyelesaikan rakaat terakhirku. Tanpa munajat. Tanpa zikir. Aku melesat menuju asal suara itu. Dari kejauhan aku melihat seorang wanita terbaring bersimba darah mengharap pertolongan. Setelah ku lihat semakin dekat, ternayata wanita itu adalah wanita senja yang memberikan mukenah tadi.
Aku menyuruh seorang warga untuk mengangkatnya menuju mobil sedan milikku yang terparkir di halaman sekolah. Di temani oleh 2 orang warga,. Kami melaju dengan kecepatan tinggi. Hampir menembus angka 110 km/jam.
Hanya dalam hitungan puluhan menit, kami sudah tiba di rumah sakit umum terdekat. Wanita senja itu langsung di rujuk ke ruang UGD, sementara aku harus mengurus administrasinya. Malam itu begitu lembab. Angin berhembus menyapaku dengan tenang. Aku putuskan untuk menelpon Bu Aminah.
Rasa cemas menggelora dalam relung batinku. Bau obat-obatan menyengkat dari penjuru ruang, menusuk-nusuk hidungku. Aku bersandar pada pranca lantai satu. Mentap langit tiada berbintang, hanya kelam yang menyelimuti langit itu. Entah mengapa pikiranku hanya tertuju pada wanita senja itu. Seperti ada yang ganjil padanya. Tapi, aku tak tahu siapa wanita senja itu?
Bu Aminah tiba  dengan langkah kaki yang tergesah-gesah. Tampak kecemasan terlukis jelas di raut wajahnya. Mungkin ia  takut terjadi sesuatu terhadapku. Maklum, walaupun aku bukan anak kandungnya. Tapi, ia begitu menyayangiku seperti anaknya sendiri. Sebab, ia divonis oleh dokter tidak bias mempunyai keturuan. Dan gara-gara hal itulah, ia dicerai oleh mantan suaminya.
Namun, kedatangan Bu Aminah tak aku hiraukan. Aku terus asik bermain dengan imajiku. Aku tersentak, ketika memperhatikan wajah wanita senja itu secara detail. Mata itu! Tak salah lagi.., mata itu milik seorang ibu yang mengintaiku dulu. Apakah benar ia ibu kandungku? Entalah.., hanya Engkau yang tahu. Aku serakan misteri ini Engkau yang menjawabnya.
***
Penulis adalah mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UISU Medan. Karya penulis urak-urakan ini pernah termuat di beberapa surat kabar lokal dan nasional. Penulis juga bergiat di Teater Karisma.